Sunday, May 31, 2009

Mencukupkan Diri

Mengapa itu perlu? karena di balik rasa "cukup" ada rasa lain, yaitu ketergantungan. Dan ketergantungan berarti penyerahan yang mutlak, tanpa tanya dan tanpa ragu, kepada otoritas yang paling itnggi, yaitu Tuhan, Allah yang empunya pelayanan ini.
Paulus sangat tahu itu. Itulah sebabnya ia pernah menulis kepada jemaat di Filipi, "Sebab aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan." Bayangkan, dalam keadaan paling membutuhkan sekalipun, Paulus bisa menyatakan sesuatu yang sangat indah untuk dipelajari: mencukupkan diri dalam segala keadaan.
Kita, seperti Paulus, memang harus terus-menerus belajar hal ini. Ia dipenjara, tetapi tidak menuntut untuk dibebaskan. Ia berulang kali menghadapi bahaya, tetapi tidak menuntut Tuhan untuk melepaskannya dari hal itu. Ia dihadang dari sana-sini oleh orang Yahudi, tetapi tidak meminta kelegaan kepada Tuhan. Bahkan ketika ia jauh dari cita-cita dan ambisi probadinya sendiri, ia tetap mengatakan, aku telah belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.
Seorang pemimpin di dalam Tuhan, justru sebaliknya. Ia, dalam segala keadaan, harus belajar membebaskan diri dari syarat-syarat yang mengikat. Ia harus belajar melepaskan diri dari ketergantungan. Lalu sebaliknya, ia berjalan ke arah kepemimpinan yang penuh dengan kebebasan dan kelegaan. Semuanya di dalam Tuhan.
Mencukupkan diri memang tidak semudah yang dituliskan Paulus. Gideon, seorang hakim Tuhan, pernah mengalamimya. Suatu hari, ia yang juga disebut Yerubaal itu harus memimpin orang Israel berperang melawan orang Midian. Sayangnya, atas kehendak Tuhan, ia harus belajar mencukupkan diri pada apa yang Tuhan berikan sebagai bagiannya. Mulanya ia mengharapkan sepasukan besar yang gagah berani, gegap gempita dan sempurna untuk kemenangan yang mutlak. Akan tetapi, Tuhan punya cara tersendiri untuk membuktikan bahwa mencukupkan diri ternyata lebih penting bagi Gideon dibandingkan kemenangan itu sendiri.
Dari tiga puluh ribi prajuritpilihannya, Gideon harus berpuas hati ketika Tuhan memilih sendiri sepuuh ribu prajurit yang terlibat peperangtan itu. Tuhan, bukankah jumlah itu terlalu sedikit untuk melawan orang Midian yang jumlahnya ratusan ribu?
Namun, itu pun belum membuat Tuhan berhenti. Dia malah melakkan seleksi lagi hingga yang tersisa dan layak berperang hanyalah tiga ratus orang. Tiga ratus orang melawan ratusan ribu prajurit Midian! Gideon pasti berpikir demikian:bagaimana mungki bisa memenangkan peperangan dengan prajurit sebanyak itu, Tuhan?
Namun, Gideon justru sedang diajar oleh Tuhan mengenai satu hal ; mencukupkan diri dalam segala keadaan. Ia tetap harus membawa pasukan kecil ituberperang!Ya, berperang dengan jumlah yang cukup itu. Dan Tuhan berkata, "Jangan-jangan orang Israel memegah-megahkan diri terhadap Aku, sambil berkata tanganku sendirilah yang menyelamatkan aku." itulah alasan yang dipakai Allah agar Gideon mencukupkan diri.
Dengan memiliki banyak kelebihan--kapasitas pribadi, keuangan, kenalan, rekan sekerja dan yang lainnya--kita memang bisa terjebak dalam kepongahan di hadapan Tuhan yang Mahakuasa. Dengan memiliki banyak hal, jangan-jangan kita pun seperti yang apa yang dipikirkan Tuhan : mengira bahwa peperangan dan perjalanan kepemimpinan berlangsung karena kita, bukan Dia. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika kita mengira nbahwa segala sesuatu terjadi karena kita ada.

GBU

Bibliography: Alkitab Filipi 4:11, Hakim-hakim 6-8, Kepemimpinan Dalam Nama Tuhan (Fotarisman Zaluchu).

Categories: , , ,

0 komentar:

Copyright © Johannes Dwi Cahyo | Powered by Blogger

Design by Anders Noren | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com | BTheme.net      Up ↑